Anak (Bodoh) Semua Bangsa
Di sebuah jalan ribut dan bau, kulangkahi jejak-jejak tak menentu sesosok gadis kecil yang pulang ke bawah kolong jembatan. Tak pernah kukira gadis sekecilnya hidup dengan cara seperti itu. Kasar dan tak punya etika pun menjadi permen karet yang melekat di gigi kecilnya. Di permukaan tanah lainnya seorang dewasa membahas tentang bagaimana dia mampu menyelamatkan spesies bodoh dari Bumi yang terkutuk oleh entitas-entitas bodoh dari jenisnya sendiri. Dia juga membahas bagaimana kecerdasan mesin akan menggantikan pekerjaan bodoh spesiesnya seperti listrik telah melakukan itu.
Lalu kubertanya pada diriku sendiri, manakah yang perlu kuperhatikan? Hal-hal besar membuatku berpikir luas dan membuka cakrawala kebodohanku yang lalu secara serta-merta menguapkannya menjadi butir-butir tinta, menetes menjadi tanda tanya. Namun hal-hal kecil membuat setiap bisul di pantatku seperti mutiara yang tak terkira nilainya, bisa dijual di pinggir laguna yang indah, membuatku bersyukur (maksudnya).
Menjadi anak semua bangsa? Ataukah menjadi anak sebuah bangsa? Ataukah di tengah-tengahnya? Menjadi anak bodoh dari sebuah bangsa yang entahlah.
Lalu lebih lanjut kubertanya pada anak bangsa yang bodoh ini, apakah cukup peran dan tindakanku sekarang sebagai spesies bodoh ini? Bersama ayunan lidah seorang bencong kupahami apa yang sebenarnya harus kulakukan. Awalnya kurasa aku tak berkembang, tak muncul dengan semestinya dari lingkungan ini, meski muncul bukanlah sebuah kebanggaan utama. Lalu kubertanya, perlukah ku kabur dari kenyataan ini dengan kekaburan yang indah yang dipuji teman-teman sejawat dan teman-teman orangtuaku? Kekaburan yang indah itu banyak dilakukan, dicari, dikejar oleh generasiku, sebagai bentuk kegaulan yang utopis sifilis masochis yang secara langsung meningkatkan kasta transparan mereka di masyarakat. Ku tlah capai langkah awal terbaik untuk mendapatkannya. Tapi menjadi seekor primata yang berpikir esensi kegiatan dan humor yang terucap membuatku berpikir lebih jauh akibat dari hal yang kulakukan dan tak kulakukan hari ini.
Aku telah menentukan hal bodoh selanjutnya yang bisa dilakukan. Kukan jadi anak bodoh semua bangsa itu. Yang berusaha mengupayakan yang benar-benar kucita-citakan, dengan caraku, dengan metodeku, dan dengan keras kepalaku. Keputusan bodoh ini sangat mungkin melawan harapan-harapan yang diciptakan atasku oleh orang-orang pintar di sekitarku yang seyogyanya tak memahamiku seperti ku pahami bokong macan yang terangsang oleh purwoceng seorang Wonosobian yang memuja-muja François-Marie Arouet dengan segala kebodohannya tentang kebebasan mengeluarkan kentut secara satir.
Kukanhasilkan duit sendiri untuk membeli kawah di bulan dan potongan kroto untuk labet (lovebird ejaan Klaten) -ku.
Lagi bodoh,
Bogor, 14 Agustus 2017
dari tetesan mani yang bodoh