Berkenalan dengan Zoroastrianisme. Menyembah Api? Mayatnya Dimakan Burung Bangkai?

Azzadiva Sawungrana
6 min readMar 24, 2021

--

Ada sebuah agama yang menarik sekali untuk saya. Agama tua, yang monoteistik-dualistik sebelum munculnya Judaisme, Kristen, dan Islam. Saya mulai berkenalan dengan agama ini pada 2013 dan masih tetap tertarik sampai sekarang meski tidak mendalami dengan kajian teologis. Sebelum membaca paragraf-paragraf di bawah, izinkan saya untuk menyampaikan bahwa saya bukanlah mahasiswa, alumni, ataupun civitas akademika teologi, jadi maaf jika metode saya menulis kurang berkenan dari sudut pandang pembaca. Tujuan menulis saya disini adalah untuk berbagi dengan sesama orang awam tentang salah satu agama monotheistik-dualistik yang menarik perhatian saya.

Namanya Zoroastrianisme.

Vodjani/ullstein bild/Getty Images

Nama lainnya Mazdayasna, terus, Tuhannya Ahura Mazda. Kayak merek mobil ya? Zoroastrianisme ini adalah salah satu agama tertua yang masih terus ada penganutnya, khususnya di sekitar Persia/Iran, Khurasan, sampai ke India. Nama pemimpinnya Zoroaster atau Zarathustra. Ahura Mazda (Tuhan Yang Bijaksana) dalam Zoroastrianisme, seperti dalam agama lain, tidak diciptakan dan baik hati terhadap seluruh makhluk ciptaannya.

Karakter Zoroastrianisme ini diantaranya : adanya mesianisme, penghakiman setelah kematian, surga dan neraka, dan manusia memilki kehendak bebas (Skjærvø, 2015). Terdengar familier ya? Memang agama ini diyakini mempengaruhi banyak agama dan budaya lain seperti Judaisme (Yahudi), Gnotisisme, filosofi Yunani, Kristen, Islam (Hinnel, 2007), Baha’i, Hindu, sampai Buddha (Beckwith, 2015).

Sedikit sejarah, Zoroastrianisme kemungkinan muncul mulai milenium kedua SM, meski yang tercatat baru di abad ke-5 SM. Catatannya ditulis karena Zoroastrianisme ini digunakan sebagai agama resmi negara kekaisaran Iran kuno (tepatnya kekaisaran Achaemenid yang dipimpin Cyrus hingga menguasai Timur Tengah sampai Mesir) selama lebih dari satu milenium, sekitar 600 SM — 650 M. Zoroastrianisme mulai menurun pamornya pada abad ke-7 seiring dengan penaklukan persekutuan Muslim atas Persia pada 633–654 M. Menurut Roshan Rivetna (2012), jumlah pemeluk Zoroastrianisme sekarang adalah sebanyak 110 ribu — 120 ribu jiwa dengan persebaran di India, Iran, dan Amerika bagian utara.

Teologi

Zarathustra, pemimpin Zoroastrianisme. (Sumber : https://iranicaonline.org/)

Seperti yang telah penulis sebutkan di atas, pemeluk Zoroastrianisme percaya pada satu Tuhan, pencipta, tertinggi yang universal, transenden, serba baik, dan tidak diciptakan : Ahura Mazda. Mereka memiliki semacam kitab yang berisi 17 himne Avestan bernama Gathas yang diyakini disusun sendiri oleh Zarathustra (Zoroaster) (Vazquez, 2019).

Para peneliti dan teolog telah lama memperedebatkan tentang sifat Zoroastrianisme apakah dualistik atau monoteistik. Tapi penulis tidak akan banyak membahas tentang ini karena kurangnya kapasitas dan kapabilitas penulis terhadap bidang dan topik ini sendiri.

Praktik

Zoroastrianisme menyatakan bahwa hidup yang baik dibentuk melalui perbuatan baik yang terbentuk dari pikiran dan kata-kata yang baik. Hal ini diperlukan untuk mencapai kebahagiaan dan mencegah kekacauan. Penganut Zoroastrianisme perlu berpartisipasi aktif dalam perbuatan baik ini sebagai perwujudan dari konsep kehendak bebas manusia (bisa baik bisa jahat). Jadi, dalam Zoroastrianisme, konsep manusia adalah bebas: bisa baik bisa jahat. Dengan adanya agama ini, manusia dipandu untuk bisa berpikir dan berkata yang baik sehingga muncul perbuatan-perbuatan baik pula.

Tradisi Zoroastrian menyatakan bahwa hidup ini sementara dan makhluk hidup akan selalu bertempur untuk memilih dan melakukan yang baik dan buruk. Sebelum lahir, jiwa seorang makhluk masih menjadi satu dengan jiwa yang lebih tinggi yang sudah ada lama sekali sejak Ahura Mazda menciptakan alam semesta. Jiwa yang lebih tinggi ini terpecah menjadi jiwa-jiwa kita yang berfungsi sebagai alat bantu dalam pemeliharaan ciptaan Ahura Mazda. Pada hari keempat setelah kematian, jiwa kita akan dipersatukan dengan jiwa tinggi itu kembali dimana pengalaman semasa hidup akan dibawa untuk dilanjutkan dalam kehidupan spiritual (Boyce, 2007).

Dalam Zoroastrianisme, air dan api adalah bentuk pemurnian dalam ritual, dimana upacara pemurnian ini dianggap sebagai dasar kehidupan spiritual. Air adalah elemen primordial kedua, sedangkan api adalah elemen terakhir yang diciptakan. Nah, para penganut Zoroaster ini biasanya berdoa di hadapan api (yang dianggap sumber cahaya) sehingga banyak yang menyebut mereka sebagai penyembah api. Mereka pun tidak suka disebut demikian, karena seperti muslim yang menyembah ke arah Ka’bah, bukan berarti menyembah batunya kan? Atau orang kristen yang menyembah di hadapan patung Tuhan, bukan berarti menyembah patungnya kan? Mereka pun sama, mereka bukan menyembah apinya, namun sosok murni, Maha Kuasa, Maha Tahu yang ada pada saat mereka ada di hadapan elemen murni, api (yang mengeluarkan cahaya). Api dianggap sebagai media dimana ilmu spiritual dan kebijaksanaan didapatkan, sedangkan air dinyatakan sebagai sumber kebijaksanaan itu sendiri. Keduanya ada di kuil api (tempat ibadah pemeluk Zoroastrianisme).

Kuil api. (Sumber : https://study.soas.ac.uk/)

Mayat dianggap sebagai bentuk kebusukan. Oleh karenanya, di Zoroastrianisme mayat tidak boleh mencemari ciptaan yang baik. Inilah yang membuat pemeluk Zoroastrianisme tidak mengubur atau membakar mayat (yang akan mengotori tanah dan apalagi api) namun justru meletakkan mayat di atas Menara Keheningan untuk kemudian bangkainya dimakan oleh burung pemakan bangkai. Menarik ya.

Ilustrasi Menara Keheningan. (Sumber : https://welcometoiran.com/)

Orang-orang Parsis (kelompok etno-religius di India yang memeluk Zoroastrianisme) secara tradisional menentang dakwah/penyebaran agama Zoroastrianisme dan bahkan menganggapnya sebagai kejahatan (Khan, 1996). Pelakunya pun diusir. Tapi saya tidak akan membahas ini terlalu dalam mengingat kerumitan alurnya.

Di sisi lain, penganut Zoroastrianisme Iran tidak pernah menentang konversi/masuknya orang ke agama Zoroastrianisme dan didukung oleh Dewan Massa Teheran (Council of Mobids of Tehran). Sementara otoritas pemerintah Iran tidak mengizinkan dakwah di Iran, penganut Zoroastrianisme Iran yang ada dalam pengasingan telah secara aktif mendukung gerakan misionaris dengan Federasi Asosisasi Zoroastrian Amerika Utara dan Pusat Zoroastrian Internasional di Paris sebagai dua organisasi yang dikenal dalam menerima calon pemeluk Zoroastrianisme (Vazquez, 2019).

Hubungan dengan Agama Lain

Beberapa peneliti (Duchesne-Guillemin, 1988) percaya bahwa konsep kunci Zoroastrianisme (eskatologi dan demonologi) mempengaruhi agama-agama Ibrahim/Abrahamik (Judaisme, Kristen, dan Islam). Di sisi lain, Zoroastrianisme pun mewarisi ide-ide dari kepercayaan lain seperti derajat sinkretisme (Boyce, 1982) dan penggabungan dengan praktik lokal seperti di Kushan, Armenia, Cina, dll (Stausberg & Vevaina, 2015). Pengaruh Zoroastrianisme pun terasa pada mitologi Hungaria, Slavia, Ossetia, Turki, hingga Mongol yang semuanya membawa konsep dualisme terang-gelap, baik-buruk yang luas (Pentikäinen, 2011).

Agama Zoroastrianisme juga mempengaruhi-dipengaruhi agama Indo-Iran yang lain. Agama ini memiliki kedekatan dengan agama-agama Weda/Veda (dengan derajat yang kedekatan yang berbeda-beda). Banyak ciri Zoroastrianisme yang dapat ditelusuri kembali ke budaya dan kepercayaan pada periode pra-sejarah di Indo-Iran yaitu sebelum migrasi yang menyebabkan bangsa Indo-Arya dan Iran menjadi bangsa yang berbeda. Karenanya, Zoroastrianisme dan agama-agama Weda/Veda memiliki kedekatan secara historis. Contohnya adalah dalam kata yang serumpun seperti : Ahura (Ahura Mazada) dengan kata Sansekerta dalam Weda : Asura (setan/dewa jahat), lalu Daerva (iblis) dengan Deva (dewa) yang itu semua berasal dari agama Proto-Indo_Iran yang sama.

Sebetulnya masih banyak sekali yang seharusnya ditulis dalam artikel ini, namun karena keterbatasan kemampuan dan ilmu penulis maka sampai disini dulu. Apabila pembaca tertarik ada baiknya kita saling berdiskusi di kolom komentar untuk mendapatkan persepsi dan ilmu yang lebih luas lagi terkait Zoroastrianisme.

Referensi

Beckwith, Christopher I. (2015). Greek Buddha: Pyrrho’s Encounter with Early Buddhism in Central Asia. Princeton University Press. pp. 132–133. ISBN 9781400866328.

Boyce, Mary (1982), The History of Zoroastrianism, 2, Leiden: Brill, ISBN 978–90–04–06506–2, (repr. 1997)

Boyce, Mary (2007), Zoroastrians: Their Religious Beliefs and Practices, London: Routledge, ISBN 978–0–415–23903–5

Duchesne-Guillemin, Jacques (1988), “Zoroastrianism”, Encyclopedia Americana, 29, Danbury: Grolier

Hinnel, J (1997), The Penguin Dictionary of Religion, Penguin Books UK.

Khan, Roni K (1996). “Traditional Zoroastrianism: Tenets of the Religion”. World of Traditional Zoroastrianism (Online ed.). Retrieved 2009–10–08.

Pentikäinen, Juha (2011). Walter de Gruyter, Shamanism and Northern Ecology.

Rivetna, Roshan (2012). “The Zarathushti World, a 2012 Demographic Picture” (PDF). Fezana.org.

Skjærvø, Prods Oktor (2005). “Introduction to Zoroastrianism” (PDF). Iranian Studies at Harvard University.

Stausberg, Michael & Vevaina, Yuhan Sohrab-Dinshaw (2015). The Wiley Blackwell Companion to Zoroastrianism Volume 68 of Wiley Blackwell Companions to Religion. John Wiley & Sons.

Vazquez, Pablo (2019). “A Tale of Two Zs: An Overview of the Reformist and Traditionalist Zoroastrian Movements”. Academia.edu.

--

--

No responses yet