Dunia Ideal?

Azzadiva Sawungrana
6 min readMar 22, 2021

--

Artikel ini ditulis pada 5 April 2015. Mohon maaf jika terdapat kekeliruan dalam kepenulisan.

Photo by Lo Sarno on Unsplash

Saat kau masih ingusan pernahkah kau bertanya, bagaimana dunia yang paling menyenangkan untukmu?

Aku pernah. Kelas 3 SD -sepertinya-. Telentang di atas rumput lapangan. Gatal punggungku. Tapi aku sudah terlanjur nyaman. Melihat awan yang berbentuk naga mengejar burung seakan ingin berkomedi. Melihat langit yang membiru haru ingin memeluk senja. Jam 4 sore. Sendirian di depan rumah teman yang paling kaya sekampung. Entah apa saja hal yang kupikirkan saat itu, tapi otakku berhenti pada pertanyaan, “bagaimana dunia yang paling menyenangkan untukku sekarang dan nanti?” sampai aku berhenti memperhatikan awan dan mulai membentuk awan-awan itu sendiri menjadi imajinasiku akan dunia yang ideal. Aku mulai mengrenyitkan dahi. Bagaimana? Hal terkecil yang paling penting apa yang bisa menjadikan duniaku menyenangkan? Aku menghela nafas. Sukmaku lepas meninggalkan ragaku untuk bersatu dengan awan-awan hasil imajinasiku. Terbang. Semuanya putih. Bersih. Aku sendiri yang berwarna biru langit. Aku mulai mengatur otakku. Membuat imajinasi yang benar tentang dunia yang aku inginkan.

Kedamaian.

Ya, kedamaian. Adalah satu-satunya hal yang bisa otakku dapatkan. Aku mulai menggambarkannya dan mewujudkannya menjadi nyata dalam dunia imajinasiku. Entah kenapa kedamaian sangat mudah aku bangun dalam imajinasiku saat itu. Aku membangun peta dunia dengan menggunakan serbuk-serbuk awan putih, pulau dengan warna putih bersih dan lautan dengan warna biru langit dari tetesan darahku. Aku membuat peta dunia. Peta dunia ini biasa saja, tidak istimewa sama sekali. Bahkan aku melupakan bagian-bagian kecil seperti negara-negara Samudera Pasifik, Srilangka, dsb. Hanya saja ada yang unik, peta bumiku kubuat tanpa batas negara. Di atasnya aku buat orang-orangan -semuanya anak kecil-. Aku buat orang-orangan satu per satu untuk setiap negara dengan sukma untuk masing-masingnya. Mereka bergandengan tangan. Tersenyum.

Tidak ada satu pun dari orang-orangan yang aku buat berkelahi. Ada memang yang marah. Tapi mereka menyelesaikan masalah dengan permintaan maaf yang tulus dan jabat tangan yang hangat.

Asal kau tahu imajinasiku tidak hanya bersifat spasial. Imajinasiku juga bersifat temporal. Aku bisa mempercepat, memperlambat, menghentikan, dan memainkan waktu dalam dunia imajinasiku hanya dengan berpikir apa yang aku inginkan. Yang aku inginkan saat itu hanya mempercepat waktu. Aku lakukan. Yang aku temukan adalah orang-orangan buatanku bekerjasama satu sama lain membuat teknologi. Teknologi yang membangun peradaban mereka tidak membuat mereka berperang satu sama lain. Ilmu pengetahuan yang mereka pelajari mereka kembangkan untuk perdamaian dan kemakmuran seluruh umat manusia. Nilai dan moral yang menjadi pedoman mereka hidup sehari-hari. Uang? Mereka tetap menggunakannya, untuk kemakmuran dan pemerataan kesejahteraan manusia. Seluruh manusia.

Poooof!

Aku terbangun oleh teriakan teman-temanku yang mengajakku bermain bola di lapangan itu juga. Aku melihat matahari. Sepertinya imajinasiku yang sudah berjalan sekian tahun hanya berjalan beberapa menit saja di kehidupan nyataku. Baiklah. Waktu memang relatif -asal kau tahu aku benar-benar berpikir seperti itu saat itu gara-gara buku ensiklopedi di perpustakaan bapakku-.

Tahun demi tahun berlalu. Aku hanya menjadi anak yang banyak menggumam, berfantasi, berpikir dan tidak menuliskan hasil gumaman, fantasi, dan pikiranku. Banyak yang hilang tentunya. Berhamburan. Termasuk keidealan dunia dalam imajiku. Tapi sekarang aku ingat.

– — — — — –

Adalah dunia yang penuh kedamaian yang menjadi dunia ideal menurutku. Kau pasti sudah terbayang dengan bagaimana indahnya dunia dari imajinasiku. Cerah, ceria, penuh senyum dan tawa. Kalaupun ada masalah mereka saling memaafkan satu sama lain. Kalaupun ada kesalahan mereka saling berani meminta maaf. Gampangnya, seperti lagu Sherina : Setiap manusia di dunia pasti punya kesalahan. Tapi hanya yang pemberani yang mau mengakui. Setiap manusia di dunia pasti pernah sakit hati. Hanya yang berjiwa satria yang mau memaafkan. Dunia menjadi sangat simpel. Alur berpikir manusia hidup hanyalah apakah kamu punya masalah dengan orang lain? Jika ya minta maaf jika tidak go on.

Gambaran dunia idealku yang sangat mendetail kurang lebih mirip dengan pidato Charlie Chaplin di filmnya The Great Dictator -meski ada sebagian kecil hal yang cukup berbeda antara pemahamanku dengan Chaplin-.

Seperti yang disinggung Chaplin tentang kelemahan dunia yang sedang kita tinggali sekarang. Dunia ini memang sedang sakit. Sakit parah yang membuatnya kehilangan kecantikannya. Padahal dunia kita ini bagaikan gadis bunga galaksi -mengacu pada bunga desa-. Planet yang sangat jelita, segar, dan memeka berubah menjadi planet yang sedang sakit tua dan tidak punya kekuatan. Kekuatan gadis dari planet ini sudah hilang. Tebak siapa penyebab semua ini? Satu-satunya spesies yang mati dan hidup untuk uang. Satu-satunya spesies yang membuat teknologi (untuk berperang). Kau. Manusia.

Dunia kita sekarang dipenuhi dengan kerusakan yang dibuat oleh manusia. Mulai dari kerusakan fisik hingga kerusakan moral.

Uang menjadi tuhan. Ketamakan menjadi udara yang kita hirup sehari-hari, menjadi batas negara dengan kebencian, menjadi alasan pertumpahan darah di atas dunia yang molek ini. Lihatlah acara TVmu! Kuis dengan hadiah berjuta-juta, bermilyar-milyar menjadi idaman. Moral disingkirkan untuk mendapatkan rating. Sinetron dengan propaganda busuk menjamur. Berlabelkan cinta lah, damai lah, agama lah, bah! Siapa yang tidak muak menonton semua itu?

Ilmu pengetahuan dan teknologi mengantarkan kita pada peperangan. Bahkan dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat saat terjadi perang. Ilmu pengetahuan yang kita pelajari ini hanya sebatas klise dan tidak lebih dari panduan untuk menjadi manusia yang disetir. Perhatikanlah. Kau hanya diajari untuk mengerjakan soal. Kau tidak pernah diajari untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia di kehidupan sehari-hari -kecuali pada guru-guru yang inspiratif-. Kau sebut itu ilmu pengetahuan? Aku sebut itu penghalau anomali. Marahlah. Itulah yang aku rasakan sebagai seorang murid. Ilmu pengetahuan kita alot dan kasar. Bukannya memahami, kita belajar hanya pada permukaan. Pengetahuan kita mengantarkan kita kepada kejahatan dan ketamakan. Semakin lama kita belajar, tidaklah membuat kita semakin menunduk. Semakin lama kita belajar, semakin besar pula tuntutan kita terhadap dunia. Pengetahuan membuat kita sinis dan licik. Koruptor? Perhatikanlah gelar mereka. Mereka pintar, pintar sekali sampai-sampai menjadi sangat lihai dalam memutarbalikkan fakta.

Teknologi yang digadang-gadang akan menjadi masa depan umat manusia justru membunuh moral. Dengan teknologi kita menjadi semakin cepat untuk bergerak, lambat untuk memahami. Dengan teknologi kita mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Dengan teknologi kita menawarkan dunia yang semu, menghilangkan yang nyata. Radio, internet, dan televisi seharusnya mendekatkan kita, menyampaikan kasih sayang dari satu belahan bumi ke belahan bumi lain. Mesin dan listrik seharusnya menguatkan kita, memberikan energi untuk kemaslahatan umat manusia.

Lebih dari teknologi, kita membutuhkan kemanusiaan. Lebih dari pengetahuan, kita membutuhkan moral.

Suatu hari, diktator-diktator akan mati. Penguasa yang memimpin dengan tirani akan musnah. Dan dunia ideal akan muncul sebagai solusi.

Tapi benarkah dunia ideal adalah obat untuk dunia yang sakit ini? Apakah dunia ideal ini bisa tercipta di dunia yang penuh ketidakidealan ini? Menurutku, sebagai pengusul dunia ideal ini, kemungkinan untuk memiliki dunia seideal di angan-anganku sangatlah kecil. Dunia ideal ini memerlukan pemimpin-pemimpin yang secara kolektif mencintai kedamaian dan membenci ketamakan. Bukan tidak mungkin memang menemukan pemimpin-pemimpin semacam ini, tapi sangat sulit. Belum lagi jika dunia ideal ini sudah bekerja, apakah akan bertahan lama? Seperti filosofi Yin and Yang dimana kejahatan dan kebaikan akan selalu ada serta saling terkait. Di dalam kejahatan pun pasti ada anomali-anomali kebaikan. Dan sebaliknya, dalam kebaikan pasti ada anomali-anomali kejahatan. Apakah negara ideal akan bertahan lama? Aku tidak tahu. Tapi yang pasti orang di dalamnya akan hidup dengan adem ayem dan penuh keelokan.

Dictators free themselves but they enslave the people! Now let us fight to fulfill that promise! Let us fight to free the world — to do away with national barriers — to do away with greed, with hate and intolerance. Let us fight for a world of reason, a world where science and progress will lead to all men’s happiness. Soldiers! in the name of democracy, let us all unite!

Terakhir, perkenankanlah aku mewasiatkan sepatah dua patah kata. Dunia ini memang tidak sempurna. Ketamakan memang menguasai uluh hati kita. Pengetahuan kita memang keras dan kolot. Uang memang masih menjadi tujuan kita. Namun, ingatlah, kita hanya akan terus menjadi seperti itu apabila kita tidak bergerak, tidak menyebarkan pemikiran dan ideologi yang menggebrak semua kerusakan ini. Kita bisa menjadi titik putih di tempat yang penuh kehitaman. Kita bisa menyalakan senthir di sarean yang sangat gelap. Kitalah solusi itu. Anak muda.

Klaten, 5 April 2015

dari anak muda Indonesia yang sedang risau akan masa depan buminya,

Azzadiva R. Sawungrana

--

--

No responses yet