Membeli Dirimu
Aku duduk disini. Di sebuah bangku perkantoran yang empuk, bisa naik turun, dan berputar-putar. Memandang seorang pegawai starling (Starbuck keliling) dari jendela kantorku di lantai tiga.
Mataku setiap hari memandangi sebuah benda persegi panjang yang bisa bersinar. Matanya setiap hari menatap bungkus coffeemix, kapalapi, nutrisari jambu, dan kawan-kawannya. Tanganku setiap hari memegang benda lucu yang bisa memberikan bunyi aneh, dinamakan manusia sebagai tikus. Tangannya setiap hari memotong bungkus-bungkus ramuan, lengkap dengan es yang memberikan kesegaran di tenggorokan pelanggannya. Kulitku setiap hari didinginkan oleh benda lucu lagi yang bisa menurunkan panas bumi (dan mereka masih bingung cara menurunkan panas bumi). Kulitnya setiap hari berhadapan dengan terik bintang kecil di galaksi Bimasakti, membuatnya legam, nampak penuh dengan pengalaman lapangan. Bauku wangi, wangi pengharum ruangan yang jauh lebih lucu lagi dari benda-benda sebelumnya. Benda ini bisa membisikkan kata-kata yang wangi setiap 1 jam. Baunya bau mentari. Entah bagaimana cara menerangkan bau mentari.
Dari sini aku memandangnya dengan seksama. Diurainya tawa demi tawa hanya dengan penjual nasi goreng di sebelahnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin kapan teori relativitas dapat ditemukan dengan teori fisika kuantum dengan hipotesis yang lebih baik dari teori senar? Mungkin. Hanya saja yang pasti dari jendela kantorku mereka terlihat menikmati setiap detik yang mereka lewati. Dengan cara mereka. Dengan lelucon yang mungkin hanya mereka pahami.
Dari jendela ini aku diam. Memandangi mereka yang tertawa. Yang mungkin bagi banyak orang hanya kameo dalam hidupnya. Aku mulai berpikir tentang ambisi-ambisiku. Tentang bagaimana aku ingin mencapai segala macam keinginanku. Mulai dari mengunjungi Kota Ur kotanya bangsa Sumeria hingga membuat vaksin anti panu untuk kemaslahatan pengidap paru dunia. Aku mulai menimbang. Apakah semua yang kuusahakan ini yang benar-benar ingin kulakukan di dunia? Salahkah bila aku dengan sederhana hidup dan menikmati setiap momen seperti mereka? Haruskah aku terus berhasil dalam hidup dengan mencapai semua itu? Apakah segala ambisi ini hanya agar aku dipandang baik oleh manusia?
Lalu aku tersenyum dalam diam melihat tingkah dua insan penuh tawa dari jendela kantorku, terpisah jarak 80m.
Tangerang, 28 Juni 2019