Sifat Pagi

Azzadiva Sawungrana
3 min readOct 18, 2021

Ini adalah cerpen tanpa klimaks, jadi maaf kalau bosan.

Seperti biasa dengan gelagat seperti kukang, Mulya terbangun karena qarin-nya yang rajin subuh di masjid. Qarin Mulya ini hobi sekali membangunkannya pada saat mimpi terbaik. Seperti pada pagi ini, saat Mulya sudah hampir mendapatkan trofi Liga Inggris. Tinggal 2 pertandingan. Malah dibangunkan si qarin. Mata yang baru terbuka seperdelapan, bibir yang masih bau amis dari jigong-nya semalaman, dan rambut seperti sarangnya seekor walet yang sedang makan daun candu, menghiasi tampilannya subuh ini. Air wudhu dari bak mandi yang terbuat dari gentong air kayu diambil dengan malas. Diusapnya air itu tanpa khusyu sedikit pun. Lalu sebuah sarung Gajah Duduk, yang entah kenapa mereknya sablon bukan tempelan seperti biasanya, ddiikatkan kepada pinggangnya yang mulai menggempal akibat terlalu banyak makan snack saat malam. Karena Mulya merasa dirinya tidak terlalu tua, maka Ia memilih untuk tak memakai baju taqwa, Ia lebih suka hoodie untuk shalat. Orang aneh.

Setelah qarin yang membawanya shalat subuh puas dengan aksinya, Mulya sekarang bisa bermalas-malasan. Biasanya dia merasa percepatan gravitasi membesar di sebuah area kecil bernama kasur. Jadi dia akan menghabiskan 80% waktu paginya dengan tambahan jigong. Sangat berfaedah. Tapi hari ini beda. Mulya merasa sedikit lebih bersemangat. Mungkin karena kemarin Sabtu dan Minggu Ia tidur terus? Atau mungkin karena semalam Ia tidur dengan lebih nyenyak? Atau mungkin karena kemarin dia belajar dengan lancar jadi puas dengan dirinya sendiri? Mungkin saja. Yang pasti pagi ini Ia awali dengan menenggak minuman tersehat se-jagat raya dan juga memberikannya ke tanaman blueberry dan tradescantia kesayangannya. Minuman ini layaknya air radiator, memberikan kedinginan bagi konsumennya. Mulya tenang, blueberry dan tradescantia tenang, hidup tenang. Dengan minuman ini, Mulya mengawali pagi, dengan minuman ini pula kebiasan buruknya Ia ubah. 30 menit olahraga dan tambahan membaca sebuah buku. Sungguh pagi yang berfaedah.

Ilustrasi pagi hari. (Sumber : http://ww1.bagigambar.com/)

Lalu pada jam 08.00 saat Mulya menatap ke matahari yang mulai menawarkan foton-foton ringan, Ia mulai ndomblong, berkontemplasi terhadap pagi di hadapan Dzat Yang Membuat Pagi Menjadi Menarik.

“Gusti, napa jenengan nyiptakke ndonya sak isine niki pas enjing to? Lha soale menawi diciptakke jam 11 ndalu, biasane kula tasih nge-game, lha niku radi lemes. Kadose mboten mungkin menawi ndalu. (Gusti, apakah Gusti menciptakan dunia seisinya ini waktu pagi? Soalnya kalau diciptakan jam 11 malam, seperti biasanya saya masih nge-game, dan itu agak lemas.)

“Gusti, napa kok ndamel enjing niku ceria ngeten kamangka kathah tiyang ingkang mboten saged tangi enjing? Napa motivasine jenengan?(Gusti, kenapa kok Gusti membuat pagi itu ceria padahal banyak orang yang susah bangun pagi? Apa motivasinya?)”

“Gusti, napa kok ndamel barang ingkang mayoritas manungsa cenderung mboten saged menikmati? Napa memang kados menika ujian niku? (Gusti, kenapa kok membuat hal yang mayoritas manusia cenderung tidak bisa menikmati? Apakah memang seperti itu yang namanya ujian?)”

Mulya, anak bodoh yang terkadang saat mendalami jagat kemanusiaannya menjadi filsuf sesaat, berkontemplasi bersama sinar hangat matahari yang mencolek epidermis badannya dengan foton yang tak bermassa. Membayangkan bumi, di antara planet yang banyaknya seperti buih di lautan, dalam sebuah periode waktu tata surya yang panjangnya seperti bulu hidung semut diantara tali rafia.

Bagi Mulya pagi ini, pagi menawarkan pil yang menjadi doping yang seringkali menentukan jalannya sebuah hari. Pagi yang diterima dengan baik, membawa pelakunya menari dalam satu hari. Pagi yang dilalui tanpa pemaknaan, membawa pelakunya ke keletihan dan kelesuan dalam satu hari itu. Pagi yang dilalui dengan kebiasaan baik, membawa pelakunya ke dalam sebuah perhelatan besar dimana orang-orang besar menari dengan ilmunya masing-masing. Disana, pelakunya bertemu dengan orang-orang besar terdahulu yang membawa pikiran dan perasaan mereka kepada kemaslahatan tata surya. Begitulah sifat pagi.

Klaten, 18 Oktober 2021

--

--