Menulis—Untuk Anakku

Azzadiva Sawungrana
4 min readMar 20, 2022

--

Halo. Tanggal berapa sekarang? Umur berapa kau sekarang? Seberapa tinggi kau sekarang? Apapun jawabannya semoga kau tetap banyak bertanya tentang apapun yang ada di alam semesta.

Ini adalah tulisan pertama yang bapak buat untukmu. Tadinya bapak ingin membuatnya jadi privat, di blog bapak pribadi. Tapi jika diingat-ingat, rasanya blog bapak selalu hilang dengan berbagai macam cara: mulai dari hilang linknya, lupa email & password, sampai habis hosting. Sayang, karena seharusnya bapak bisa melihat perkembangan pola pikir bapak dari baca tulisan sendiri. Ini jadi nasihat pertama untukmu :

Banyaklah menulis dan simpanlah dengan baik tulisanmu, sememalukan apapun itu

Photo by Aaron Burden on Unsplash

Beberapa bulan yang lalu simbah menemukan tulisan mbah buyut Thojib di sebuah buku berbahasa Inggris dari perpustakaan di Illinois. Jika kau coba untuk cari nama mbah buyut, Thojib Djumadi, di mesin pencarian akademis, maka kau akan menemukan banyak artikel & buku yang mencantumkan namanya seperti Ras (1979), Tesoro (2004), dst. Tulisan-tulisan mbah buyut hidup lebih dari 24 tahun setelah tutup usia.

Salah satu tulisan mbah buyut di Ras (1979)

Foto memang membuat kita dapat mengingat wajah dan ekspresi seseorang dalam suatu periode tertentu. Mengingat kerut di kening, seberapa lebar senyumnya merekah, lubang hidung yang sering keluar ingus, atau sekadar kolor warna apa yang sering dipakai. Seperti kata orang, foto memberikan ribuan kata. Memang seperti itu. Hanya saja, foto tidak dapat memberikan narasi terhadap apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh seseorang, sebuah komunitas, sebuah masyarakat, ataupun sebuah bangsa. Ini juga kenapa bangsa kita seperti baru terlahir di abad ke-7 ke atas, padahal jauh sebelumnya pulau kita sudah banyak dihuni oleh beberapa spesies manusia, tidak hanya spesies kita saja. Bangsa kita waktu itu jarang sekali menulis, meninggalkan penanda jaman, sehingga kita tidak tau apa yang mereka pikirkan dan rasakan.

Makanya, menulis adalah salah satu hal yang paling penting untuk menghubungkan satu generasi ke generasi yang lain, untuk menularkan pikiran, untuk meninggalkan jejak sejarah pada anak cucu. Seperti tulisan mbah buyut yang memberikan kita sudut pandangnya terhadap kebudayaan Jawa dan keberpihakannya pada seorang jurnalis yang dizalimi. Kita anak cucunya jadi bisa membayangkan pikiran dan emosinya serta menyampaikannya ke dalam tulisan. Dengan menulis, sosokmu tak hanya akan dikenang sebagai wajah yang tampan atau hidung yang besar saja, tapi sebagai seseorang yang merenung dan merasa. Mungkin tidak untuk dikenang banyak orang, tapi setidak-tidaknya anak turunmu akan mengingat namamu dengan membayangkan opini dan/atau idemu.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” — Pram

Kata-kata di atas adalah kata-kata yang begitu terkenal dari seorang penulis terkenal dari jaman simbah masih muda.

Menulislah, maka kau akan hidup diantara masyarakatmu.

Menulislah, maka pikiranmu akan mewakili orang-orang sekelilingmu.

Menulislah, dan hiduplah dalam sejarah — setidak-tidaknya dalam keluargamu.

Sejujurnya saja, bapak adalah orang yang secara natural banyak menulis karena punya kecenderungan untuk diam di saat tidak di sekolah atau tempat kerja. Jadi mungkin agak kurang adil jika bapak menyuruhmu untuk terus menulis. Tapi, keuntungan dari menulis betullah sangat banyak.

Bapak punya kebiasaan untuk menulis apa yang bapak ingin sampaikan ke seseorang ketika akan berpisah atau sekadar berterimakasih. Kebiasaan ini terdengar sangat biasa saja. Tapi ternyata karena sedikit sekali orang yang melakukan kebiasaan ini, maka bapak jadi banyak diingat sebagai seseorang yang dapat menyampaikan perasaan terdalam melalui surat. Padahal bapak buruk sekali dalam menyampaikan pikiran dan perasaan secara verbal. Di sisi lain, tak hanya mbah buyut dan bapak, tapi simbah juga menulis banyak buku dan artikel di semasa jadi guru. Mulai dari buku pelajaran tentang Sosiologi sampai fosil-fosil Sangiran-Trinil dan sekitarnya. Jadi, kami semua ingin kau ingat. Kami ingin dapat menjadi penyumbang otak dan hatimu di hari ini.

Satu lagi, tak ada waktu telat untuk menulis, tak ada umur yang buruk untuk menulis. Menulis menandai waktu. Oleh karenanya, sebuah tulisan akan merepresentasikan dirimu, keluargamu, masyarakatmu, atau bangsamu dalam suatu waktu. Buktinya? Banyak. Mulai dari tulisan di Sumer, Mesopotamia selatan sampai Negarakertagama. Siapa yang menulis akan diingat sepanjang jaman (jika tulisannya ditemukan ya). Makanya bapak kadang kepikiran untuk buat prasasti, tapi cape sekali sepertinya.

Sudah ya, tulisan ini diselesaikan ba’da magrib di rumah mbah Malang. Bapak & ibumu sedang mengunjungi simbah selama kurang lebih tiga minggu. Ini sudah diburu-buru ibumu untuk bertamu ke kerabat-kerabat sekitar. Sampai jumpa lagi di tulisan lain, nak.

Malang, 20 Maret 2022

--

--

No responses yet