Nusantara yang Menjanda

Azzadiva Sawungrana
8 min readMar 22, 2021

--

Photo by Koes nadi on Unsplash

Artikel ini ditulis 16 Maret 2015, mohon maaf jika terdapat kekeliruan dalam sejarah serta alur kepenulisan.

Tulisan ini ditujukan untuk merisaukan diri kami sebagai bangsa Indonesia yang seperti kehilangan arah akan kemana kami pergi, yang hanya membuntuti orang yang terkata lebih “keren” daripada kami, kami memang sedang menjadi bangsa pengintil. Kami perlu risau dan tidak bertingkahselow lagi dengan semua kemunduran nilai ketimuran ini.

Kami bisa memulainya dari dua kata, basa-basi dan hakikat.

Dalam KBBI, tertulis :

basa-basi /ba·sa-ba·si/n1 adat sopan santun; tata krama pergaulan: tidak tahu di –; hal itu dilakukan hanyalah sbg — dl pergaulan ini;2 ungkapan yg digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi, msl kalimat “apa kabar?” yg diucapkan apabila kita bertemu dng kawan;3 perihal menggunakan ungkapan semacam itu;

dan

hakikat /ha·ki·kat/n1 intisari atau dasar: dia yg menanamkan — ajaran Islam di hatiku;2 kenyataan yg sebenarnya (sesungguhnya): pd — nya mereka orang baik-baik;syariat palu-memalu, pd — nya adalah balas-membalas, pb kebaikan harus dibalas dng kebaikan

Di Indonesia, (generasi) kami menggunakan kata basa-basi untuk menunjukkan bahwa yang kami lakukan hanyalah sebatas untuk tontonan formalitas yang tidak memberikan intisari dari hal yang kami lakukan tersebut -mirip dengan arti kedua-. Kata hakikat, kami gunakan untuk menunjukkan isi, inti, dan hal yang benar-benar ada dalam suatu hal atau tindakan tertentu. Kedua kata ini menunjukkan hal yang saling berkebalikan, meskipun tidak saling bertolak belakang sejauh 1 π radian. Kedua kata ini (menurut saya) yang paling mudah dipahami untuk menerangkan keintian permasalahan. Anggap saja mereka bertolak belakang seperti materi dan anti materi pada saat pembentukan tata surya.

Nusantara, daerah yang menunjukkan keangkuhan leluhur kami sebenarnya merupakan pencerminan dari besarnya penghakikatan kebangsaan kami pada zaman dahulu dan juga penjagaan kebasa-basian yang mengalir dalam urat nadi kami. Bagaimana bisa? Bisa saja. Pada zaman itu kebasa-basian menjadi sangat indah karena digunakan untuk menjaga ajaran moral, menuliskan kata-kata dalam hukum, menjalankan doktrin agama, hingga berkata-kata dalam sehari-hari.

Basa-basi yang digunakan saat itu pun merupakan basa-basi yang memberikan keindahan bersosialisasi sehingga kehidupan sehari-hari menjadi kehidupan yang tidak membosankan. Kalau hari-hari sekarang kami hanya bisa hidup pada hari ini karena takut pada masa depan yang mengkhawatirkan, nenek moyang kami dahulu hidup di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Mereka menginstropeksi diri mereka, memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu dengan basa-basi berbentuk database dan kitab-kitab catatatan yang lengkap. Mereka menjalani hidup mereka, menikmati segala hal yang terjadi pada masa kini dengan menuju kepada satu cita-cita besar yang tidak berubah. Mereka bermimpi akan Nusantara mereka, merencanakan segalanya untuk bangsa mereka -dan kami- di masa depan yang akan membuat anak cucu mereka bahagia. Basa-basi mereka menjadi basa-basi yang begitu berkelas karena digunakan untuk mempertahankan ketinggian hukum-hukum, norma-norma, dan nilai-nilai yang tercermin dalam kitab-kitab yang tercipta saat itu. Kalau kau tidak percaya, cobalah membaca indahnya kata-kata dalam Nagarakertagama, salah satu kitab yang paling terkenal dari peradaban Nusantara. Hanya saja tidak ada hukum di dalamnya, tapi coba bacalah.

“Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah” [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] “terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan… Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya”.

Kau bisa membaca, kan? Bisakah kau rasakan indahnya untaian kalimat itu? Bisakah kau rasakan indahnya suasana Nusantara saat itu?

Kau pasti berharap lebih akan cerita tentang Nusantara ini. Ya. Kau bisa mendapatkannya. Nusantaramu, Nusantaraku, Nusantara kita, Nusantara kami dibangun dengan pemaknaan yang sangat dalam terhadap kebangsaan yang ada dalam darah kami, tidak hanya dengan kebasa-basian yang indah saja. Boleh saja kau mengatakan Nusantara kami terlahir dari orang tua yang bercerai, perpecahan kerajaan yang diawali dengan buruk di suatu tempat bernama Daha. Tapi kemudian, Nusantara kami tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, anggun, lemah gemulai, berhati-hati dalam bertindak, tenang, berparas menawan, memakai make up dengan rapi dan tidak berlebihan, memakai gincu yang pas…kulitnya sawo matang, hidungnya kecil seperti kacang mete, tidak gemuk dan tidak pula kurus, rambutnya diikat belakang, matanya tidak sipit dan juga tidak terlalu besar, alisnya naik di bagian pertemuan dan turun di bagian jauh, senyumnya tulus hampir sempurna…sangat cantik. Hingga membuat banyak lelaki tergoda pada Nusantara kami… Saat itu Nusantara kami masih seorang gadis yang anggun nan menawan, bak kelopak bunga yang terbang di atas padang rumput yang kering. Tidak hanya anggun dan menawan, saat itu Nusantara kami juga masih berani melawan, sangat galak dan liar apabila didekati oleh lelaki berhidung belang. Saat itu Nusantara kami seperti air. Cantik saat tenang, iblis saat berang. Saat itu.

Lupakan kecantikan Nusantara sejenak. Pemaknaan di awal kelahiran Nusantara yang mencari hakikat dalam hidup, alasan manusia diciptakan, dan alasan-alasan filosofis lain memberikan spirit kebangsaan dan nilai-nilai yang tertanam saat itu. Kedalaman berpikir nenek moyang kami dulu memang istimewa. Di saat Eropa baru akan beranjak naik dari basement yang sangat gelap bernama Zaman Kegelapan menuju Zaman Rennaisans, di saat Kerajaan Mongol sedang remuk yang nantinya akan digantikan Dinasti Ming, nenek moyang kami sudah menguasai setidaknya 75% Asia Tenggara dengan cara yang sangat elegan kala itu, ekonomi. Negara mana yang pada masa itu bisa mengontrol Negara lain dengan ekonomi? Pemikiran sedalam apa yang bisa mengantarkan sebuah Negara menjadi Negara digdaya ekonomi di saat Negara lain hanya disibukkan dengan perang disana-sini? Mungkin memang ada yang lain, tapi nenek moyang kami tidak hanya berpikir tentang itu.

Pernahkah kau mendengar Tribhuwannottunggadewi Jayawishnuwardhani? Dia adalah Queen regnant Nusantara. Ibu dari Sang Legenda, Hayam Wuruk. Apa kau menyadari ada kata “…dewi” di belakang nama pertamanya? Ya. Dia adalah seorang perempuan yang memimpin Nusantara kami. Dia menggantikan Jayanegara dan kemudian menjadi raja ketiga Nusantara kami. Menurut Nagarakertagama, dia menjadi raja setelah mendapat mandat dari ibunya sendiri, Gayatri, yang juga merupakan istri dari raja pertama, Raden Wijaya. Sebuah langkah perempuan yang sangat berani di masa itu dimana di bagian bumi lain perempuan masih diperlakukan seperti manusia kasta kedua. Dan dapatkah kau membayangkan, Ibu Dewi ini memimpin pasukannya sendiri di Sadeng dan Keta?Dapatkah kau membayangkan seorang perempuan menjadi raja dan jenderal perang? Kau tidak pernah melihat film klasik yang memberikan peran seperti ini kepada wanita. Bahkan Disney sekalipun, meski mereka memiliki Mulan. Tunggu. Apakah aku sudah mengatakan kalau dia menaklukkan Bali dan juga The Almighty Sriwijaya? Itu dia lakukan. Kalau digambarkan seperti perempuan sekarang, bisa jadi mirip Lara Croft, tapi dengan menggunakan selendang dan jarik. Aneh memang, tapi nyata.

Wringin Lawang, peninggalan Majapahit

Apa kau mendapatkan poinnya? Saya hanya ingin mengatakan bahwa, mereka memiliki filosofi yang sangat dalam. Mereka memikirkan segalanya dengan baik dan terstruktur. Bahkan ada banyak nilai ketimuran Nusantara yang masih terjaga hingga hari ini, struktur sosial yang sangat baik dengan sangat memperkecil kemungkinan keapatisan masyarakat. Dengan kata lain, mereka memang disistemkan untuk peduli satu sama lain. Saya tidak akan memperpanjang penerangan ini. Yang ingin saya garis bawahi adalah : mereka memiliki kebasa-basian yang indah dan di saat yang bersamaan memikirkan hakikat dari kehidupan dan hal-hal yang mereka lakukan setiap hari.

Itu yang tidak kami lakukan sekarang. Itu yang kami tanyakan keberadaannya dalam hati kami sekarang. Kemana sifat itu hilang? Semuanya masih ada saat masa Kesultanan Demak, tapi mulai menghilang saat Kesultanan Mataram…dan kemudian orang berambut jagung itu datang, mendekati Nusantara kami yang sedang kelelahan karena sudah terlalu banyak murka pada manusia-manusia di dalamnya, lalu memper**sanya, dan meninggalkannya begitu saja. Kutukanku untuk mereka semua. Jangan pernah kembali lagi kepada Nusantara kami.

Sifat itu benar-benar hilang setelah orang berambut jagung itu datang dan memperlakukan Nusantara kami dengan semena-mena selama waktu yang sangat lama. Dan juga setelah kedatangan orang yang mengaku sebagai saudara kami dari jauh -walaupun terlihat ras yang sangat berbeda dari mata dan warna kulit-, Nusantara kami semakin terpuruk. Setelah itu? Ada memang beberapa waktu yang membuat Nusantara kami bangkit. Yang mengobarkan spirit kebangsaan Nusantara lagi. Yang membuat Nusantara bisa menjadi air bah. Beberapa waktu ketika anak-anak muda bangkit dan bersatu. Beberapa waktu ketika mereka belum menjadi tua dan balik melukai Nusantara.

Sekarang…

Nusantara dikhianati oleh semua orang. Maksudku, semua orang yang berkuasa. Berkuasa dimana? Entahlah, kau jawab sendiri saja pertanyaan itu. Yang pasti hari ini Nusantara terluka. Nusantara menjanda, kehilangan keceriaan gadisnya dan keangkuhan masa mudanya. Nusantara diam ketika orang melukainya. Dia sudah pasrah dan tidak berdaya.

Manusia di dalamnya tidak lagi memedulikan kecantikannya, keanggunannya, ketulusan senyumannya. Semuanya hanya karena harta dan tahta. Uang dan kekuasaan. Semuanya gila harta. Semuanya gila kekuasaan. Banyak sekali panggung-panggung yang menawarkan hadiah berupa harta dan semua orang rela melakukan apa saja untuknya. Banyak sekali rakyat Nusantara yang menjual kehormatan dan prinsip-prinsip hidupnya hanya karena harta untuk menghidupi keluarganya. Banyak sekali orang kaya yang berperan sebagai berhala moderen, disanjung-sanjung karena banyak hartanya. Banyak pula orang yang mengejar kekuasaan demi eksistensi dengan menggunakan uang -lagi-lagi-. Banyak pula pejabat Nusantara yang tidak punya rasa malu mengambil duit orang-orang yang mereka kuasai -memang tidak mereka pimpin-. Bah. Saya sudah muak. Hanya dengan menulis ini saja saya sudah sangat muak.

Lihatlah drama yang dipertontonkan para cukong itu! Apa yang mau mereka lakukan? Mengambil semua harta yang ada di Nusantara dan membawanya ke akhirat untuk dipamerkan kepada Jibril? Apa kau sudah gila? Berapa anak Nusantara yang bisa kau berikan pendidikan, kesehatan, dan makanan dengan semua duit itu? Apa kau sudah gila wahai pejabatku? Berapa anak Nusantara yang bisa kau selamatkan hidupnya dari kelaparan dan busung lapar dengan semua duit itu? Saya benci dengan semua ini. Saya hanya bisa menulis. Saya tidak bisa membisikkan langsung kepada mereka hujatan-hujatan yang saya ingin pekikkan langsung di dalam jiwa mereka. Kalau bisa, saya ingin menitipkan kepada malaikat maut yang akan mengambil nyawa mereka. Tahanlah. Biarkan mereka melakukan lebih banyak dosa. Cabutlah mereka seperti kau cabut nyawa Fir’aun. Atau, bisa juga…tahanlah, agar mereka bertaubat. Agar mereka meminta maaf dan menyesal kepada Nusantara yang telah melahirkan anak durhaka seperti mereka di masa lalu.

Mereka terlalu banyak berbasa-basi yang tidak indah. Mereka kehilangan hakikat dari kata memimpin. Dan bahkan mungkin mereka kehilangan hakikat dari hidup mereka sendiri. Mereka hanya mengejar harta dan tidak tahu apa yang akan dilakukan setelahnya.

Tapi saya masih muda.

Saya memiliki banyak teman yang juga masih muda.

Matahari selalu bersinar pada jam 10 untuk kami.

Bulan selalu purnama untuk kami.

Kami tidak pernah mempermasalahkan akan lebih indah matahari pagi atau bulan purnama.

Kami hanya akan berjalan bersama.

Kami masih bisa menjadi pengawal senyuman tulus ibu kami, Nusantara.

Nusantara memang menjanda, tapi dia masih seorang janda yang cantik.

Kami akan mendandaninya di masa kami.

Camkan itu.

Klaten, 16 Maret 2015

--

--

No responses yet