Pemilik Tangan yang Bodoh

Azzadiva Sawungrana
3 min readJun 15, 2021

--

Sepasang tangan berusia hampir 27 tahun memutar kemudi sebuah kendaraan kaleng. Diumpatnya hujan deras. Hujan membuat jalur kepulangannya terputus akibat banjir kecil. Banjir yang berwarna coklat Milo penuh dengan kotoran ayam yang bercampur dengan kotoran manusia paduan pecel lele dan rujak cingur. Sambil mendengarkan radio moderen bernama podcast (baca: podkes) yang dihubungkan kepada sistem spiker mobil, dia menggerutu terhadap nasibnya sore ini. Terjebak macet dan harus kembali mencari jalur alternatif.

Dicarinya jalur alternatif untuk mencapai rumah. Rumah kontrakan sederhana namun nyaman di sebuah perumahan yang menurut warga sekitar mewah. Ada sebuah jalur alternatif yang dia hafalkan sebagai rute untuk menghindari dump truck berisi pasir yang beroperasi jam 9 malam— jam 6 pagi. Dilaluinya jalur ini dengan kepercayaan diri. Beberapa umpatannya masih tersisa karena jalur ini menambah waktu yang relatif cukup berarti dalam perjalanannya ke rumah.

Kemudian ia melalui sebuah jalan beton sepi penghubung antar dua desa yang di kanan kirinya tidak ada pepohonan ataupun rumah. Hanya ada rerumputan di kanan dan kiri. Jalan ini, meskipun beton, sangat hancur. Sedikit umpatan dia lontarkan atas masalah ini. Hingga dia bertemu dengan seorang kakek yang berjalan di bawah hujan deras.

Dia mulai memperhatikan kakek ini. Si kakek terlihat membawa sebuah kantong plastik putih berisi beras dan membawanya dengan dua tangan. Kakek ini mengenakan baju putih, yang karena hujan, basah dan transparan, menunjukkan kaus dalam putih yang ia kenakan. Kumis, jenggot, dan rambut putihnya menegaskan identitas kekakekannya.

Ilustrasi sang kakek.

Sekonyong-konyong jiwa dari pemilik tangan hampir 27 tahun ini terbang ke dimensi lain dimana ia bertemu dan bercengkerama dengan si Kakek.

Pemilik Tangan : “Kek, kenapa kakek masih hidup dan berusaha hidup?”

Kakek : “Apa maksudnya?”

Pemilik Tangan : “Maksudnya, kenapa kakek mau tetap hidup sampai selama ini? Dan bahkan kakek menderita untuk orang lain.”

Kakek : “Sederhana aja nak, kakek punya harapan untuk mereka.”

Pemilik Tangan : “Tapi kek, bukankah harapan terhadap makhluk itu adalah seburuk-buruk harapan?”

Kakek : “Betul dan tidak betul nak. Harapan terhadap makhluk yang didasarkan kepada Zat Yang Nyawa Kita Ada Dalam Genggaman-Nya itu bisa dan boleh kita gunakan sebagai penggerak kita untuk terus hidup.”

Pemilik Tangan : “Maksudnya gimana tuh kek?”

Kakek : “Taruhlah harapanmu kepada makhluk sebagai ikhtiar dan ikhtiar saja. Taruhlah hasil dari ikhtiarmu sebagai nasib dan takdir yang sudah tertulis di kitab catatan kejadian Tuhan.”

Pemilik Tangan : “Artinya harapan tetap bergantung di Tuhan, makhluk yang jadi objek harapan kita adalah manifestasi dari nasib dan takdir yang telah digariskan Tuhan, begitu kek?”

Kakek : “Tepat sekali nak.”

Pemilik Tangan : “Oke baik. Lalu satu lagi kek. Kenapa kakek ga nyuruh anak atau cucunya aja?”

Kakek : “Itu juga sederhana nak.”

Pemilik Tangan : “Gimana tuh kek?”

Kakek : “Males.”

Pemilik Tangan : “Haha, jadi takdir dan nasib kakek untuk gerak sendiri ya?”

Kakek : “ 👍 ”

Jiwa si pemilik tangan telah kembali ke raganya. Dibukanya kaca jendela otomatis, lalu disapanya sang kakek. Bodohnya, tak diajaknya masuk ke mobilnya karena tak terpintas di pikirannya. Hanya saja, kebijaksanaan sang kakek telah merasuk ke dalam dirinya dalam diskusi dalam ruang spiritual yang tak terikat oleh ruang dan waktu.

Dikuranginya jumlah umpatan lalu ia lanjutkan perjalanannya pulang.

Parungpanjang, 15 Juni 2021

--

--

No responses yet