(Rasanya) Aku Tak Pernah Sendiri
Sudah lama aku tidak menulis tulisan sesuka hatiku seperti ini. Akan terdengar hiperbol, tapi aku betul merasa kurang menjadi diriku tanpa menulis. Ini karena hanya ada dua caraku untuk menuangkan emosi dalam diri: istri dan tulisan. Aku bukan orang yang otomatis bercerita tentang apa yang kualami, apalagi yang kurasakan. Aku terlalu banyak menggunakan otak, yang sejatinya juga hanya dua sel saja yang berfungsi, dan jarang meraba dengan hatiku. Kalau ada orang yang bercerita, aku akan mendengarkan, tapi tak sebaliknya. Ya, aku akan coba balikkan dengan cerita yang menarik biar mereka mau bercerita balik, tapi bukan yang kurasakan. Ya begitulah racauanku.
Sebulan lagi umurku tiga puluh tahun. Tiga. Puluh. Tahun. Aku masih ingat perasaanku dulu mendengar ibu punya umur 34 tahun. Rasanya tua sekali. Sekarang aku diinjak oleh kenyataan yang sama, dengan rambut yang beruban lebih cepat dari mbokku dan mata yang lebih blawur juga. Aku menulis ini di balkon sebuah rusun tua milik ITC, fakultas tempatku belajar master, yang menyebut dirinya sebagai hotel. Hotel taek. Aku berada di lantai 6 yang menghadap ke arah timur. Artinya setiap pagi aku selalu mendapat vitamin D. Setiap pagi yang ada mataharinya. Yang itu sangat jarang di Belanda. Kesuwen nang Londo marai depresi.
Sekarang jam 10 malam. Di depanku, sekitar 50 meter, berdiri sebuah kantor yang menghalangi cakrawalaku. Padahal harusnya aku bisa melihat ke centrum, atau alun-alun kota Enschede. Yang tidak ada penjual mainan kapal othok-othok, penjaja pancingan ayam warna, dan juga pengamen dengan speaker cempreng nan agak gila seperti di alun-alun Klaten. Di sebelah kananku RSUD Enschede, yang pastinya sering kulewati, yang di depannya kadang ada orang cari vitamin D yang masih diinfus. Berdiri sambil merokok. Sepertinya bukan hanya Indonesia saja yang perokoknya bangsat-bangsat. Kalau kau cari intisari dari paragraf ini, ya cari saja sendiri apa kopet-kopet yang tersirat disini.
Ini tanggal 10 Oktober. Tadi siang aku pergi ke kampus untuk supervisi thesis dan aktivitas golek pangan. Di sepanjang jalan, daun-daun maple sudah bersolek memakai gincu merah di seluruh daunnya. Pohon-pohon maple di kampusku selalu seperti itu. Aku khawatir mereka punya profesi lain selain menjadi pohon. Mereka selalu menjadi yang pertama berdandan di saat yang lain masih muda, masih hijau. Ada juga pohon besar seperti trembesi, yang dikerumuni dengan daun jingga. Aku selalu bersepeda dengan pelan saat mereka menjadi merah seperti hari ini. Rasanya biasa-biasa saja kalu mereka hijau atau putih atau gundul bahkan. Tapi mereka begitu gemulai saat mereka menjadi merah, jingga, dan kuning. Aku tahu itu pertanda mereka kehilangan nutrisi. Tapi masa bodoh dengan nutrisi mereka, jalan-jalan yang membosankan jadi cantik penuh warna.
Aku sudah merasakan dua setengah musim gugur di Belanda. Satu setengah dengan bojoku, dan satunya sendiri. Ya, bojoku harus pulang ke negeri para bedebah itu karena dia sekolah didanai oleh pemerintah sana, yang anehnya mewajibkan untuk mengabdi. Padahal kupu-kupu monarki, sumpah namanya itu kalau diterjemahkan, menjadi kuat karena mereka bermigrasi dari Amerika Utara ke Meksiko setiap tahun sampai-sampai mengembangkan kemampuan terbang setengah sadar seperti pengemudi tol Cipali sekitar jam 2an. Apa artinya? Terserah kalian saja.
Sebelum berangkat, aku buka kepalaku dengan obeng bapak. Aku ambil isinya yang kebanyakan game tidak jelas. Lalu aku masukkan mereka yang kusayangi ke dalamnya dan aku sumpeli dengan sempak agar tidak dijambret. Aku tutup lagi kepalaku, dan kukencangi lagi dengan obeng bapak. Lebih kencang daripada sebelumnya. Aku tak mau isinya tumpah atau lepas. Kalau aku mau mengingat mereka, aku tinggal tarik dua kali kuping kiriku. Setelahnya, aku akan bisa melihat wajah-wajah mereka dari dalam bola mataku. Tidak susah memang menjadi aku.
Aku tak pernah sendiri. Aku kira mereka hanya akan hidup dalam kepala, tapi ternyata mereka sekarang sering jalan-jalan sore ke hatiku. Mungkin rindu. Mungkin kepikiran saja. Tapi yang jelas aku sekarang sering merasakannya. Tapi bukannya ini buat perasaan jadi sepi, sekarang aku malah jadi tak pernah merasa sendiri. Rasanya selalu ada teman gaib yang bukan jin dari timur tengah. Ucil pun tak mengerti. Untung ditolong Yuli. Bodo amat.
Entah ini doa atau sekadar perasaan saja, tapi aku tak pernah merasa berjalan sendiri sekarang. Perasaan ditunggu dan menunggu jadi roda-roda sepedaku, jadi selimut saat tidurku, dan jadi keyboard saat thesisku. Segalanya terasa lebih mudah. Aku dipertemukan dengan orang-orang baik yang memudahkan urusan-urusanku. Tak terhitung. Bahkan ketika si kaki datarku yang buruk rupa ini terkilir, banyak orang yang membantu. Bahkan hari ini supervisor 2 untuk thesisku kasih kado. Padahal aku jarang-jarang bantu orang. Filosofiku yang dulu adalah, kurangi berinteraksi dengan orang jadi kau tak pernah menyakiti mereka. Dan juga aku pusing kalau terlalu banyak orang yang perlu disapa.
Aku tak tahu apa tujuan dari tulisanku hari ini. Tidak ada alur penulisan juga, apalagi review sebelum post. Mungkin ini yang aku rindukan. Tulisan asal, bercerita apapun yang sedang kurasakan.
Pada akhirnya, aku tak sendiri. Dan sepertinya tak akan pernah sendiri. Rasanya hidupku juga tak pernah hampa. Selalu ada isinya walaupun kadang berisi eek. Dan ini juga yang selalu aku coba untuk syukuri. Harapan dan memori jadi bekalku dalam bangun tidur dari selimut yang terlalu hangat untuk sholat subuh, juga jadi bekalku dalam bersepeda di suhu dua derajat, juga jadi bekalku dalam menghadapi thesis yang topiknya sangat baru bagiku. Aku harap kalian yang membaca sampai sini juga dikaruniai harapan dan memori, yang membuat kalian berkata: “(rasanya) aku tak pernah sendiri.”
Enschede, 10 Oktober 2024