Rumahku dari Luar
Kita bisa melihat pecahan genteng, cat yang mengelupas, sampai ventilasi yang berdebu jika kita coba ke luar rumah. Ini mungkin perumpamaan terbaik mengapa aku memutuskan untuk perlu sekolah di luar negeri. Aku selalu percaya Indonesia tak kurang. Dan tak lebih juga. Rumah. Itu saja.
Lalu kucoba lihat rumah dari luar. Kuperhatikan rusak pagarnya tapi betapa cantik saka penyangga atapnya. Kayu jatinya masih kokoh meski telah luntur. Ya, kini aku tahu bahwa rumahku punya keunikan(rusak dan bagus)nya sendiri. Bentuknya panjang dan membuatku mengantuk. Barangkali itu yang langsung terpikir olehku. Saat ini di rumah orang, aku lihat bagus dan jeleknya rumah mereka juga. Kusen sampai pondasinya rapi, tapi tak membuatku mengantuk. Ruangan tengahnya juga dingin.
Semakin kuperhatikan rumah Meneer (yang katanya kaya ini), rumahku tak buruk-buruk amat. Bahwa ada engsel yang rusak, itu pasti. Masalahnya rumahku dihuni 5 keluarga. Ya pasti saja lebih ramai dan banyak engsel yang dibuka tutup banyak orang. Menurutku, kami hanya perlu perbaiki bersama saja. Nanti juga akan jadi rumah yang lebih nyaman lagi, tidak ada bunyi “kiyuk kiyuk” kalau buka pintu.
Aku masih akan menginap di rumah ini untuk lima malam ke depan sepertinya. Aku senang-senang saja sih. Hanya kepikiran saja, pasti enak tidur di kursi goyang peninggalan kakekku di tengah pendopo waktu dingin begini.
Enschede, 5 Oktober 2023