Sang Penikmat Kehidupan
“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
Begitulah Seno Gumira Ajidarma menggambarkan ketakutannya terhadap keadaan hidup. Sangat mengerikan memang, membayangkan masa muda yang hanya berisi kesemrawutan kehidupan tanpa memaknainya. Kehidupan yang dipenuhi dengan sesaknya dada karena pekerjaan yang sama terus menerus, memandang masa depan yang sangat gelap, pasti merupakan siksaan tersendiri di hidup manusia. Lalu di akhir, pensiun dengan uang yang tidak seberapa.
Ya, saya pun takut dengan masa depan yang tinggal selangkah lagi di depan saya. Apakah saya harus menjalani kehidupan seperti itu? Menerima kenyataan bahwa saya harus menjalani sengsara batin? Dapatkah saya tetap mengecap kehidupan yang penuh dengan kemacetan, ketakutan datang terlambat ke kantor, dan tugas rutin, DENGAN pemaknaan dan rasa syukur terhadap hidup? Bukankah rasa syukur adalah sebaik-baik sahabat?
Entahlah. Saya belum mencapai tahap itu. Namun, saya harus segera menentukan dari berbagai opsi yang saya buat, akan saya dayung kemanakah sampan saya yang terombang-ambing di lautan luas ini? Lautan luas memberikan saya beberapa arah angin yang sudah sangat terasa, bahkan oleh lambung dan paru-paru saya. Kemanakah saya akan pergi? Barat? Timur? Utara? Saya harus segera memikirkannya sebelum saya hanya terbawa arus di salah satu arah angin.
-Memikirkan masa depan dan berprasangka terhadapnya merupakan suatu hal yang kadang baik, kadang buruk untuk dilakukan. Untuk kali ini saya mau tak mau harus memikirkannya-
Tepatnya 2 minggu yang lalu, kami sekeluarga melancong ke sebuah pantai di Gunung Kidul. Poin yang ingin saya sampaikan bukanlah suasana pantainya yang memang bagus, namun pengalaman kami. Diawali dengan pernyataan yang dibuat oleh bapak saya yang memandang sekumpulan orang tua bercengkerama,”Bangun pagi, minum teh, memandang langit, ah enak jadi penikmat kehidupan.” Diikuti dengan peristiwa kedua yang juga dialami oleh bapak. Bapak bercerita dengan tukang ojek yang mengantarkan dari pantai ke parkiran mobil,”Le bapak tadi sempat ngomong dengan bapake ojek tentang apa pekerjaannya sehari-hari sebelum pantai ini dibuka (karena pantai ini memang relatif baru dan masih sepi). Bapake ngomong,’Dulu paling kami hanya bekerja di tegalan, nanem apapun yang bisa ditanem. Tapi sekarang berkat adanya pantai ini kami pagi bisa ke hutan cari kayu bakar lalu siangnya kami ngojek di pantai ini. Terima kasih sekali pak sudah menjadi jalan rejeki saya hari ini.’ Simpel memang le, tapi kalo kamu perhatikan dalam kata-katanya, bapak ini penikmat hidup. Hidup di dekat keluarganya, bekerja berjuang demi keluarganya sehari-hari, bangun pagi untuk mereka, bergurau dengan temannya di malam hari, sederhana, bahagia, begitu saja.”
Kehidupan mereka sangat sederhana. Makan daging pun mungkin seminggu sekali atau kurang. Mobil? Mungkin hampir tak ada satu pun yang memiliki diantara mereka. Tapi lihatlah apakah mereka merasa kekurangan dengan itu? Rasa syukur membuat segalanya menjadi lebih sederhana. Kita yang hidup di kota, yang dipengaruhi nilai kebarat-baratan (saya terdengar sangat melawan barat ya. Cukuplah dilihat sebagai protes terhadap terkikisnya budaya timur) tentang bagaimana uang bisa mengubah banyak hal menjadi lebih baik, bagaimana materi harus didapatkan untuk dicap sebagai orang sukses, dan bagaimana caranya kita bisa tampil di media massa sebagai artis, motivator, inspirator, atau apapun yang menjadikan kita kondang. Mungkin pikir pak ojek itu, ‘yang penting aku dan keluargaku menerima apapun yang sudah diberikan Tuhan’. Tak tahulah.
Boleh jadi saya akan menentukan angin mana yang akan saya ambil dengan pola pikir yang sama dengan pak ojek. Saya menginginkan kehidupan yang sesederhana itu. Bekerja, bercengkerama, bahagia. Saya tidak mau terlalu peduli jika suatu saat ada teman, atau rekan kerja saya yang sukses secara materiil karena saya ingin bentuk rejeki besar yang akan saya peroleh bukan materi, namun kasih sayang dan rasa peduli. Alangkah pedihnya apabila saya menua dengan materi yang berlebih namun tanpa kasih sayang, memiliki banyak musuh, atau apapun yang akan membuat hidup saya terasa sempit.
Saya ingin menjadi sang penikmat kehidupan, yang memandang langit biru dengan senyuman, yang bangun dengan gairah untuk keluarga dan sahabat, yang bersyukur hanya dengan melihat daun kuning berjatuhan.
Sleman, 14 September 2016