Sang Penikmat Ributnya Kehidupan

Azzadiva Sawungrana
5 min readMar 26, 2021

--

Photo by Sabda Rhamadhoni on Unsplash

14 September 2016 lalu saya menulis tentang ketakutan saya terhadap masa muda yang hanya diisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan berakhir dengan pensiun yang tak seberapa seperti yang diutarakan oleh Seno Gumira Ajidarma (SGA) sang cerpenis ulung. Tiga per empat tahun setelahnya, saya menulis artikel blog di sebuah kamar kecil bersama dengan laptop tua yang telah menemani perjalanan belajar saya di bangku kuliah, baju-baju yang menumpuk belum dicuci, kasur busa keras tanpa sarung, beberapa minuman sachet yang dibawakan Ibu dari Klaten, serta beberapa buku yang selalu menemani waktu pribadi saya; di sebuah kos di pusat Jakarta.

Saya masih ingat, tiga per empat tahun yang lalu saya membayangkan betapa mengerikannya masa muda yang tak dinikmati, di sebuah kota besar, di tengah banyak pikiran berjalan yang membuatmu kecil, di antara kerumunan ramai yang terasa sepi, menghirup polusi udara parah, membau got yang sewangi selangkangan kus-kus, menghadapi kemacetan setiap pagi, dan menjadi pepes diantara manusia-manusia yang masing-masing memiliki mimpinya. Betapa mengerikannya kehidupan seperti itu. Menua bersama dengan kelelahan yang selalu kita bawa. Tanpa sadar melewatkan keping-keping kehidupan yang seharusnya kita maknai.

Lalu, saya berada di posisi ini. Di tengah hiruk pikuknya kota besar ini.

Namun, di bagian akhir tulisan saya tiga per empat tahun yang lalu tersebut saya bertanya kepada diri sendiri, apakah keadaan kota yang memang sudah terlanjur seperti ini tak bisa saya maknai? Dapatkah saya berangkat ke kantor melewati kemacetan, menghirup polusi, dan menghadapi tugas rutin dengan pemaknaan dan rasa syukur?

Satu bulan berada di ibukota, memberikan saya pengalaman yang unik dan belum pernah terjadi sebelumnya mengingat diri saya yang tidak suka keramaian dan memuja-muja ketenangan serta kebijaksanaan bertutur kata dan berpikir. Saat berangkat ke kota ini saya berkata kepada diri saya, “Kau harus memulainya dengan pemaknaan dan rasa syukur, ditambah juga dengan ikhtiar, doa, dan rasa prihatin yang cukup.” Tak dinyana trik saya yang receh ini bisa membantu kemauan bekerja saya menjadi jauh lebih baik. Saya mampu memulai petualangan di rimba yang penuh dengan pohon beton ini dengan rasa nyaman meskipun terdapat satu hal yang belum bisa saya terima, bau got.

Namun terdapat dua hal baru yang sebelumnya tak pernah terlintas di benak saya bahwa saya akan mempelajarinya. Yang pertama adalah, nikmatnya kehidupan terdapat dibalik setiap hal-hal kecil. Kehidupan ini tersusun dari hal-hal kecil dan hal-hal besar yang membangunnya. Hal-hal besar akan selalu menyita perhatian kita seperti saat pertama mendapat pekerjaan, saat melamar calon pendamping, saat lulus kuliah, dan sebagainya. Sedangkan hal-hal kecil akan dengan mudah kita lupakan dan tentu saja pada saat hal-hal kecil tersebut terjadi tak kita perhatikan. Hal-hal kecil ini adalah seperti menutup pintu, menyalakan kipas, tersenyum kepada anak kecil, mengambil uang dari dompet, memasak air, dan sebagainya. Hal-hal kecil inilah yang jika kita memaknainya dengan baik maka kehidupan akan terasa nyaman dan menyenangkan. Misalnya ketika kita menutup pintu lakukanlah dengan perlahan dan dengan sedikit lengkungan bibir dan katakan pada dirimu sendiri bahwa hari ini adalah hari yang membuatmu bahagia dan semakin bijaksana. Juga ketika kau menjumpai orang-orang yang berangkat ke kantor, maknailah, bahwa mereka memiliki mimpi-mimpi masing-masing di balik jilbab, peci, rambut mereka, bahwa mereka memiliki orang-orang yang mereka perjuangkan karena rasa sayang, yang juga membuat mereka berada jauh dari orang-orang itu. Betapa indah hidup ini ketika kau bisa memaknai setiap hal-hal kecil ini.

Yang kedua adalah, kota menjanjikan materi namun bukan kebahagiaan hati. Harus diakui memang, kota, apalagi ibukota, menjanjikan peredaran uang yang gila-gilaan. Yang membuat orang-orang di dalamnya mampu mendapatkan uang yang cukup banyak untuk melakukan hal-hal yang digandrunginya dan/atau membeli barang-barang yang sebenarnya tak terlalu penting. Uang memang mampu membeli. Namun di kota, terlampau banyak contoh-contoh keluarga yang tak erat, yang salah satu anggotanya atau bahkan semuanya melakukan keburukan entah apapun bentuknya. Hal ini bisa dengan mudah terjadi karena pekerjaan yang memaksa orangtua berangkat saat anaknya masih berada di kasur dan kembali juga pada saat anaknya telah berada di kasur. Hingga pada suatu titik dimana orangtua tersebut mendapatkan materi yang cukup atau bahkan berlebih namun si anak terlanjur jauh secara batin dengan orangtuanya, lalu banyak hal terjadi. Beberapa keluarga mampu mencegahnya dengan cara mengusahakan waktu bersama setiap hari pada saat makan malam serta akhir minggu yang penuh dengan kebersamaan. Materi memang perlu kita raih untuk memastikan dapur kita berasap, namun materi, tidak seharusnya menjadi tujuan utama dalam hidup kita yang singkat ini. Setidaknya begitulah idealnya.

Masalah yang juga terjadi di dunia kita sekarang adalah pemujaan yang berlebihan kepada orang yang sukses yang didefinisikan sebagai punya banyak duit atau terkenal. Orang-orang semacam ini banyak diundang ke acara bincang-bincang yang semakin menegaskan perlunya kita untuk kaya atau terkenal atau dua-duanya. Di saat yang sama, terdapat orang-orang sederhana yang hidup sederhana di desa tanpa memikirkan hal-hal yang rumit seperti di kota, tak kaya, tak miskin, tak terkenal (atau setidaknya karena mereka yang berkata seperti itu). Orang-orang ini bersyukur atas apapun yang diberikan Tuhan terhadap mereka. Pernah mengeluh, namun segera menggantinya dengan ikhtiar. Orang-orang inilah yang membuat saya pernah berkata kepada Dzimar, saudara koteka saya, “Jangan-jangan orang-orang yang menurut dunia tidak signifikan, yang tak diperhatikan, yang jangankan terkenal di dunia, di desa saja belum tentu inilah orang-orang yang akan menjadi populasi terbanyak di surga.”

Semua ini hanya membuat saya berpikir bahwa saya hanya ingin menjadi penikmat ributnya, hiruk-pikuknya kehidupan, dengan mensyukuri apapun yang terjadi dalam hidup saya dan memaknai setiap hal-hal kecil dalamnya dengan senyuman dan tawa. Yang memandang langit biru dengan apresiasi, yang bangun dengan gairah untuk keluarga dan sahabat, yang bersyukur hanya dengan melihat daun kuning berjatuhan.

Jakarta, 14 Juni 2017

--

--

No responses yet