Sebuah Malam Biasa

Azzadiva Sawungrana
2 min readSep 29, 2022

--

Pelanggan terakhir telah pergi. Tak biasanya. Ia membersihkan meja warung mie ayam bakso kami sebelum pergi. Jadi meja hijau cerah ini terlihat bersih. Ia juga menghabiskan seluruh makanan dan minuman yang dipesan tanpa sisa. Apakah ini yang dimaksud adab makan? Mungkin. Apakah dia orang yang relijius? Kalau Islam, mungkin tidak. Dia datang dengan celana di atas lutut. Relijius atau tidak, sikapnya sangat baik.

Kubersihkan sisa minyak di atas meja itu. Kubawa piring dan gelasnya ke belakang untuk dicuci ibu dan kakak. Mereka tidak memperbolehkanku membantu seksi cuci karena aku harus kerja sambil belajar.

Aku kelas 11. Siswi biasa-biasa saja. Pagi dan siang sekolah diantar motor Astrea Grand bapak. Sore dan malam menjadi pelayan restoran mie ayam terbaik sedunia. Terbaik. Karena disitu ada bapak, ibu, dan kakakku. Tempat terbaik. Tempat aku bisa menjadi diriku sepenuhnya.

Aku hanya bisa melihat ketika teman-temanku langsung gaul sepulang sekolah. Hal yang jelas tak terbesit di benakku. Aku, tentu, kenal mereka dengan baik. Hanya saja jam terbangku di restoran harus terus ditingkatkan. Dengan baju merah list hitam yang terlihat sangat murah, sablon Mie Ayam Bakso Pak Edi yang amatir, dan bau mie ayam yang semerbak aku siap menjalani malam biasaku. Membuat para konsumen kenyang dan bahagia dengan mie ayam 5.000an kami. Dan karenanya, membuat keluarga mereka senang juga karena perut kenyang = mood bagus.

Klaten, 28 September 2022

--

--