Sebutir Pikiran di Letvuan

Azzadiva Sawungrana
3 min readMar 25, 2021

--

Photo by lee Scott on Unsplash

Hal yang aku pikirkan di Letvuan sekarang, adalah muslimnya. Setiap muslim seperti satu tubuh, katanya. Setiap terdapat bagian tubuh yang sakit pasti yang lainnya juga merasakan sakit, katanya. Setiap muslim adalah saudara untuk muslim yang lainnya, katanya. Katanya memang seperti itu, tapi aku belum terlalu merasakannya hingga aku sedikit memikirkan permasalahan muslim di Letvuan ini.

Isu perpecahan, isu konflik masa lalu, isu ketidaksukaan kepada oknum tertentu, isu korupsi, dan sebagainya menjadi bumbu permasalahan yang tidak berujung di kampung muslim Letvuan. Haruskah aku menyelesaikannya? Bisakah? Jika tidak bisa apakah aku hanya bisa berpikir dan mengumpat dalam hati? Apa yang bisa aku lakukan? Aku benci dengan situasi dimana aku lah yang menyadari dan yang pertama harus bergerak. Aku sudah menduga ini akan melelahkan pikirlanku dan mengalahkan berbagai macam hal lain yang seharusnya aku pikirkan. Aku benci. Sekaligus ketagihan melakukannya. Kau harus tau rasanya berpikir untuk orang lain. Kau tahu kau akan kelelahan, tapi itu nagih! Kau akan merasa ada di dunia. Kau akan merasa bahwa dirimu masih memiliki fungsi di dunia, meski hanya sebatas merisaukan orang lain. Aku jadi sedikit bisa memahami mengapa Rasulullah, Martin Luther King, Soekarno, Napoleon, Gajah Mada, Gandhi, Mandela, dll seperti ketagihan memikirkan masalah orang lain. Dengan memikirkan masalah orang lain, aku cukup yakin bahwa seseorang akan bisa lebih bijak dalam menyikapi setiap masalah yang ada dalam hidupnya sendiri. Bukannya menjadi orang yang mencampuri urusan orang lain, tapi kami hanya ingin membantu memperlama setiap detik kebahagiaan dan senyuman orang lain karena itulah yang membuat kami juga tersenyum. Benar juga, senyuman kalian adalah yang membuat kami tergerak.

Kembali lagi kepada masalah di kampung muslim Letvuan. Aku punya pilihan, tapi jiwaku tidak bisa hanya memilih untuk berdiam diri. Boleh jadi aku hanyalah bak orang lewat di sebuah padang pasir tandus, tapi aku bukanlah orang lewat yang tidak tahu diri. Aku tidak bisa mengubah keadaan, aku tidak bisa memotivasi maupun menginspirasi mereka. Yang bisa lakukan hanyalah, tidak mengutuk padang pasir tandus dan mencari oase untuk dibangun hingga padang pasir tandus bisa dimanfaatkan untuk jalur perdagangan atau fungsi yang lain. Syahdan, aku memulai untuk mengajak teman-temanku untuk bersama tidak menghiraukan ketandusan padang pasir. Aku mengajak mereka untuk mencari oase. Dan entahlah apa yang dilakukan oleh Tuhan, sekonyong-konyong kami mendapatkan oase itu. Meskipun kecil, oase ini bisa menjadi harapan bagi padang pasir tandus. Kekuatan oase ini memang kecil, tapi jika kami menemukan lebih banyak oase-oase kecil ini kami akan bisa exceed target. Beberapa oase kami temukan mulai mengering. Tapi itu bukanlah sebuah masalah besar, kami bisa membuatnya hidup lagi dengan mengolahnya sedemikian rupa. Yup. Kami punya harapan besar pada oase-oase kecil ini. Kami memang tidak mau membebani oase ini dengan harapan besar kami, jadi kami hanya mencoba untuk menjadi pengolah yang baik saja tanpa meminta hasil yang lebih dari Tuhan. Semoga saja oase-oase kecil inilah yang akan menjadi solusi dari semua masalah yang ada dalam kampung muslim Letvuan.

Ketahuilah, oase-oase kecil ini adalah anak-anak muda kampung muslim Desa Letvuan. Merekalah harapan kami.

Maluku Tenggara, 1 Agustus 2015

--

--

No responses yet