Senang Saat Berpulang
Di dalam bus Murni Jaya jurusan Wonosari-Kotabumi seorang perempuan di sampingku membuka bungkus makanannya. Dilahapnya camilan singkong dari minimarket lokal itu. “Kraus kraus” suaranya, dengan sedikit mencemari lingkungan kursiku.
“Orang hidup itu ga enak ya. Isinya setelah seneng, sedih, seneng, sedih. Ga pernah ada orang yang dikasih seneng aja terus gitu.” katanya sambil terus memamah singkong kering berwarna merah itu.
“Iya juga ya. Orang hidup ga akan pernah dikasih enaknya doang ya.” timpalku seadanya.
“Ya begitulah. Itu juga mungkin kenapa orang-orang yang beriman tu ga takut sama mati. Malah kadang merindukan kematian. Karena ya hidup buat mereka, ada aja ga enaknya.”
“Iya juga sih.” balasku seadanya lagi.
“Sekeras apapun mereka bersyukur, tetep aja suatu saat susah. Nah kalo mati, mereka masuk surga, udah tinggal enak doang. Ketemu Tuhannya, keluarga yang ditinggal, nabinya, temen-temennya, semuanya.” tambahnya.
“Bener juga sih.” sahutku sekilas.
“Yang ga waras aja buat kita, sudut pandang pemikir-pemikir logis. Gimana coba, merindukan mati, aneh banget.” tambahnya sambil terus mengunyah.
“…” aku tak menjawab karena sopir mau mengganti oli, dia menepikan bus ke sebuah bengkel besar.
Manusia ini sepertinya mengisi otaknya dengan menggunakan micin-micin yang terkandung dalam potongan-potongan singkong keringnya. Bisa berkata sedalam itu hanya dengan menyerap tenaga singkong. Aku belum pernah bertemu dengan orang seperti ini. Mungkin dia semacam avatar ya, tapi the last micined cassava bender.
Eh tapi benar juga yang dikatakan perempuan kraus-kraus ini. Orang-orang beriman mungkin banyak yang sekadar menikmati hidup mereka di dunia ini dengan secukupnya saja, karena mereka menyadari bahwa mencari kesenangan di bumi ini tidak akan bertahan seumur hidup. Mereka akan diberikan kesedihan setelah kesenangan, dan kesenangan setelah kesedihan. Seperti roda setan. Roda setan ini yang nantinya akan terputus saat mereka mati. Saat mereka bertemu dengan figur-figur yang mereka nantikan. Figur yang mereka rindukan saat hidup.
Itulah juga kenapa ambisi mereka untuk diri sendiri tak terlalu besar ya. Karena mereka bersyukur dengan apa yang diberikan. Sambil membuat kebajikan-kebajikan kecil untuk sedikit meyakinkan Tuhan agar memasukkan mereka ke sisi yang enak. Sisi yang mereka rindukan selama diuji di dunia. Diuji kesabaran, rasa syukur, empati, dll.
Mereka tak tampil di majalah Trubus, Bobo, Toto… alih-alih Times atau The Economist. Tapi mereka memilih hal yang justru jauh di depan. Di masa dimana kita semua telah mati. Setidaknya begitu sudut pandang mereka. Senang saat berpulang.
Hmph. Bau oli.
Bogor, 29 Maret 2021