Habilis & Java Man (Evolusi 2)

Azzadiva Sawungrana
5 min readMar 18, 2022

--

Homo Habilis adalah spesies tertua dalam genus Homo. Namanya berarti orang yang terampil (handyman) karena dianggap sebagai spesies Hominid pertama yang menggunakan perkakas batu (Leakey et al. 1964). Mereka adalah spesies perantara antara Homo Erectus dan Australopithecus.

Wajah Homo Habilis dari Roberts (2018)

Ada perdebatan ilmiah mengenai apakah Habilis seharusnya diklasifikasikan sebagai Australopithecus atau Hominin tetapi sampai sekarang masih dianggap sebagai spesies dalam Hominin (Leakey et al., 1964). Meskipun mereka adalah Hominin, mereka sangat mirip kera daripada manusia modern. Manusia modern memiliki wajah datar yang merupakan produk evolusi selama jutaan tahun. Rahang Habilis menonjol dari wajah dan lebih kekar. Tengkoraknya lebih berat dan memiliki alis yang tebal. Laki-lakinya rata-rata tingginya sekitar 1,2 meter dan perempuannya lebih kecil dalam kisaran 0,9 meter dengan berat sekitar 30 kilogram dan mereka bertubuh kokoh dibandingkan dengan manusia modern (Tobias, 1987).

Mereka mungkin berbulu seperti simpanse tetapi kemudian bulunya berkurang dari waktu ke waktu. Ukuran otaknya kurang dari setengah manusia modern, tetapi dua kali lipat dari Australopithecine. Mereka jauh lebih pintar dari spesies sebelumnya, tetapi masih jauh lebih bodoh daripada manusia. Spesies ini hidup di sepanjang sisi timur Afrika. Ya, Afrika benar-benar merupakan tempat kelahiran umat manusia dan spesies lain yang tak terhitung jumlahnya. Lanjut, manusia kera kecil setinggi 1,2 meter ini tidak bodoh jika dibandingkan dengan simpanse modern. Otak mereka sedikit lebih besar dari simpanse, tetapi kita tahu bahwa mereka jauh lebih cerdas, melihat kemampuan mereka untuk membuat peralatan batu. Kebanyakan orang tidak tahu, tetapi alat-alat batu sebenarnya sangat kompleks, coba buat satu, susah sekali mencapai standar alat-alatnya Homo Erectus. Hanya membuatnya jadi serpihan tajam saja bisa jadi pekerjaan yang berat.

Alat-alat yang dibuat Homo Habilis (Roberts, 2018)

Populasi Habilis kemudian berevolusi menjadi bentuk awal dari Homo Erectus. Kelompok awal ini disebut Homo Ergaster, tetapi sekarang dianggap hanya sebagai bentuk awal dari Erectus (Rightmire, 1998). Perlu diingat bahwa Habilis hidup berdampingan dengan Erectus selama mungkin 500 ribu tahun. Erectus jauh lebih maju daripada Habilis secara anatomis. Beberapa spesies Erectus sebelumnya memiliki volume otak sekitar 850 cc, tetapi spesies yang bertahan kemudian seperti manusia Jawa, Java Man (Ciochon & Huffman, 2014), memiliki otak 1100 cc atau lebih. Homo Sapiens laki-laki rata-rata memiliki volume otak 1260 cc . Homo Sapiens perempuan, di sisi lain, memiliki volume otak rata-rata 1130 cc (Anton et al., 2016). Saya tidak mengatakan bahwa wanita kurang cerdas daripada pria, tetapi malah saya ingin mengatakan dari sudut pandang sebaliknya. Kita semua tahu bahwa perempuan memiliki kemampuan kognitif yang sama seperti laki-laki, dan sungguh menakjubkan bahwa manusia kera prasejarah ini memiliki ukuran otak yang sama dengan Homo Sapiens perempuan. Meskipun otaknya kira-kira berukuran sama, manusia modern kemungkinan besar memiliki otak yang jauh lebih kompleks dan cerdas.

Penggambaran Homo Erectus di Sangiran, Sragen, Jawa Tengah (sumber: Solo City Travel)

Homo Habilis terikat ke Afrika, tetapi Erectus terbilang jauh lebih sukses, hingga mereka hidup di seluruh dunia. Wilayahnya sangat luas, dari Cina bagian utara hingga bagian selatan Eropa yang menjadi jarak terjauh dari asalnya di Afrika. Mereka benar-benar mendominasi lingkungannya dan hidup selama ratusan ribu tahun. Mereka pasti telah menjalani kehidupan yang luar biasa untuk bertahan hidup.

Bersamaan dengan keanekaragaman spesies yang luar biasa, Erectus juga merupakan genus Homo pertama yang diketahui menggunakan dan mengendalikan api. Di Afrika Timur kita telah menemukan pecahan tanah liat yang dikeraskan menggunakan api dan telah dipanaskan hingga suhu 400 derajat Celcius. Koobi Fora, Kada Gona, dan beberapa situs lain menunjukkan bahwa mereka pertama kali mulai menggunakan api pada 1,5 juta tahun yang lalu (Gowlett, 2016).

Mereka juga merupakan spesies pertama yang membuat kapak tangan dari batu. Kapak ini dibuat dari sepotong batu besar yang dibuat dari napal. Kurang lebih seperti pisau saku pada zaman mereka yang biasanya digunakan untuk pertahanan, menyiapkan makanan, membuat barang sehari-hari, berperang, dan banyak hal lainnya. Selanjutnya spesies yang bertahan belakangan bahkan membuat tombak berujung batu, dan perangkat yang lebih rumit (de la Torre, 2016).

Spesies ini memiliki karya seni tertua yang pernah ada. Sebuah cangkang bergambar berusia 500 ribu tahun kita temukan di Trinil, Ngawi, Indonesia pada sekitar tahun 1890-an. Cangkang ini memiliki tanda aneh di atasnya yang bentuknya geometris dan terlhiat diukir dengan alat yang sangat keras. Homo Erectus telah mengukir bentuk-bentuk ini dengan alat batu yang sangat tajam. Mungkin saja cangkang itu adalah dekorasi religius, seni perhiasan, atau hanya coretan iseng saja. Apa pun itu, pastinya dibuat dengan sengaja ratusan ribu tahun yang lalu oleh nenek moyang kita (Joordens, 2015).

Karya seni tertua di dunia yang ditemukan di Trinil, Ngawi, Jawa Timur (Henk Caspers/Naturalis).

Homo Erectus muncul sekitar 2 juta tahun yang lalu dan baru punah sekitar 70.000 tahun yang lalu. Kita mungkin bertanya pada diri sendiri bagaimana mungkin mereka punah baru 70.000 tahun yang lalu jika Homo Sapiens berevolusi 350 ribu tahun yang lalu (Herries et al., 2020)? Dan jawabannya adalah kita sempat hidup berdampingan. Ada 8 spesies dalam genus Homo dengan spesies dan subspesies tak terhitung yang diusulkan. Mereka semua berkembang dan bercampur ke Eropa dan Asia, membuat bermacam-macam spesies manusia yang membuat percampuran kita menjadi begitu kompleks.

Referensi

Anton, S. C.; Taboada, H. G.; et al. (2016). “Morphological variation in Homo erectus and the origins of developmental plasticity”. Philosophical Transactions of the Royal Society B. 371 (1698): 20150236.

Ciochon, R. L.; Huffman, O. F. (2014). “Java Man”. In Smith, C. (ed.). Encyclopedia of Global Archaeology. pp. 4182–4188.

de la Torre, I. (2016). “The origins of the Acheulean: past and present perspectives on a major transition in human evolution”. Philosophical Transactions of the Royal Society B. 371 (1698): 20150245.

Gowlett, J. A. J. (2016). “The discovery of fire by humans: a long and convoluted process”. Philosophical Transactions of the Royal Society B. 371 (1696): 20150164.

Herries, Andy I. R. et al. (2020). “Contemporaneity of Australopithecus, Paranthropus, and early Homo erectus in South Africa”. Science.

Joordens, Josephine C. A. et al. (2015). “Homo erectus at Trinil on Java used shells for tool production and engraving”. Nature. 518 (7538): 228–231.

Leakey, L.; Tobias, P. V.; Napier, J. R. (1964). “A New Species of the Genus Homo from Olduvai Gorge”. Nature. 202 (4927): 7–9.

Rightmire, G. Philip (1998). “Human Evolution in the Middle Pleistocene: The Role of Homo heidelbergensis”. Evolutionary Anthropology. 6 (6): 218–227.

Roberts, Alice (2018). “Evolution: The Human Story, 2nd Edition”. Dorling Kindersley Limited. ISBN: 9780241365809.

Tobias, P. V. (1987). “The brain of Homo habilis: A new level of organization in cerebral evolution”. Journal of Human Evolution. 16 (7–8): 741–761.

Malang, 18 Maret 2022

--

--

No responses yet